Tidak semua perusahaan “nyaman” menjadi perusahaan publik atau emiten. Perusahaan-perusahaan ini lebih suka menjadi perusahaan tertutup Pembatalan sukarela Atau menjadi pribadi Untuk beberapa alasan.
Dalam dekade terakhir, banyak perusahaan telah menjadi go private atau melepaskan statusnya sebagai perusahaan publik di bursa efek Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu; Golden Mississippi (tahun 2010), Sorini Agro Asia Corporindo (tahun 2017), dan Merck Sharp Dohme Pharma (tahun 2020).
Baru-baru ini, Multistrada Directions Sarana (MASA) juga berencana untuk tampil menjadi pribadi. Menyusul pengumuman pada awal Maret 2021, BEI menghentikan sementara perdagangan saham MASA.
Dalam hal ini, dengan melepaskan statusnya sebagai perusahaan publik MASA berarti delist atau delisting saham di BEI. Jika sudah menghapuskan secara resmi, masyarakat nantinya tidak akan bisa melakukan jual beli saham MASA.
Sebelum rencana menjadi go privat, harga saham MASA mengalami kenaikan. Dalam tiga bulan terakhir saja, harga saham perusahaan produsen ban ini naik drastis lebih dari 100 persen.
Apa Alasan Perusahaan Go Private?
Kira-kira apa yang membuat perusahaan malah melakukan go private? Bukankah go publik adalah impian sebagian besar perusahaan?
Perlu diketahui, setiap perusahaan memiliki beragam alasan dalam melakukan aksi korporasi tersebut. Adapun alasannya antara lain; rencana merger dengan perusahaan lain, akuisisi, keinginan dari pemegang saham mayoritas, pendiri dan lainnya. Sebelum lanjut saya juga mengunggah artikel tentang Merger Dan Akuisisi Mengapa Ekonomi Kita Dikuasai Asing. Anda bisa membacanya dengan meng-klik link terebut. Mari kita lanjut ke pembahasannya
Sebagaimana yang telah dijelaskan investopedia (portal investasi), bahwa go private bermanfaat dalam rangka membebaskan waktu dan usaha manajemen perusahaan agar dapat berkonsentrasi penuh dalam menjalankan dan mengembangkan bisnis nya, selain itu terbebas dari kewajiban dalam memenuhi peraturan sebagai perusahaan terbuka. Setelah beralih ke go private, fokus manajemen dalam mengembangkan competitive positioning dari suatu bisnis dalam pasar bisa lebih maksimal, dalam artian, manajemen perusahaan bisa fokus dengan tujuan-tujuan jangka panjang perusahaan.
Pada dasarnya, menjadi sebuah perusahaan terbuka artinya perusahaan wajib mengikuti serangkaian ketentuan dan peraturan yang berlaku, baik peraturan dari bursa, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau undang-undang yang telah ditetapkan. Misalnya dalam hal kewajiban mempublikasikan laporan keuangan dan laporan tahunan secara terus-menerus kepada publik dalam waktu yang tela ditentukan.
Publikasi laporan artinya memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat atau publik untuk mengetahui kondisi perusahaan. Bahkah beberapa analis, investor, media massa dan lainnya memberikan penilaian atas kondisi baik maupun buruknya perusahaan yang bersangkutan. Oleh karenanya, muncul spekulasi-spekulasi tertentu dari publik terhadap kondisi dan kinerja perusahaan.
Perusahaan Terpaksa Go Private, Kenapa?
Jika voluntary delisting merupakan go private yang dilakukan secara sukarela, maka ada suatu emiten yang dengan terpaksa go private dikarenakan tidak terpenuhinya beberapa peraturan dari bursa. Kondisi seperti itu disebut dengan istilah forced delisting.
Forced delisting merupakan sebuah proses penghapusan pencatatan saham yang dilakukan oleh BEI. Penyebab dilakukannya forced delisting ini pun beragam, antara lain; secara berturut-turut tidak mempublikasi atau melaporkan laporan keuangan selama 2 tahun, keberlangsungan dari perusahaan yang bersangkutan, dan masalah pailit atau pencabutan izin lainnya.
Jika voluntary delisting kerap dipersepsikan netral oleh para investor, maka sebaliknya, forced delisting kerap kali dipersepsikan negatif. Hal ini disebabkan karena para investor menganggap bahwa perusahaan sudah tidak mampu memenuhi aturan-aturan yang ada dalam BEI.
Delisting suatu perusahaan merupakan salah satu risiko yang harus diterima bagi para investor yang memiliki saham di perusahaan tersebut. Saham yang akan mengalami forced delisting pada dasarnya akan di suspend oleh pihak bursa dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.
Pada masa periode tersebut, BEI akan membuka suspensi yang bersifat sementara dan memberikan kesempatan kepada para pemegang saham untuk melakukan transaksi di pasar negosiasi. Namun, tentunya harga dari saham tersebut berpotensi menurun drastis di pasar negosiasi. Hal itu disebabkan karena perusahaan yang mengalami forced delisting biasanya mengalami beberapa masalah tertentu.
Forced delisting ini menjadi pengingat para investor saham bahwasanya tidak semua perusahaan yang sudah terdaftar sebagai perusahaan terbuka di BEI adalah kondisi perusahaan yang "baik-baik saja".
Daftar Perusahaan yang Awalnya Go Publik Menjadi Go Private
1. PT. Bentoel Internasional Investama;
2. PT. Danayasa Arthatama;
3. PT. Merck Sharp Dohme Pharma;
4. PT. Sorini Agro Asia Corporindo;
5. PT. Alfa Retailindo;
6. PT. Aqua Golden Mississippi;
7. PT. Miwon Indonesia;
8. PT. Bayer Indonesia;
9. PT. Indosiar Visual Mandiri;
Saat Emiten Go-Private, Apa yang Harus Dilakukan Investor?
Adakah investasi saham Anda yang akan segera beralih ke go-private? Umumnya saat para investor mengetahui perusahaan tempat berinvestasi itu akan delisting, biasanya mereka akan panik dan kebingungan dalam pengambilan keputusan antara apakah harus menjualnya atau tidak.
Pada dasarnya, perusahaan yang akan delisting berdampak pada para investor yang sudah berinvestasi disitu. Nah, jika sudah dalam kondisi seperti itu, kira-kira apa yang harus dilakukan oleh para investor?
Sebagaimana yang dilansir dari laman web OJK, bahwa dana yang diinvestasikan ke emiten yang akan delisting itu bisa kembali ke tangan investor atau para pemegang sahamnya. Ketentuan tersebut sejalan dengan POJK No.3/POJK.04/2021, OJK akan melindungi para investor ritel di pasar modal atau bursa.
Jika sebuah perusahaan mengetahui perusahaannya akan mengalami kebangkrutan kemudian akan memilih untuk go-private, maka perusahaan tersebut akan melewati beberapa tahap di pengadilan. Diantaranya yang dilakukan adalah menjual seluruh asetnya. Kemudian hasilnya akan digunakan guna membayar kewajiban-kewajiban atau utang.
Jika sudah melakukan hal tersebut, maka pemegang saham akan menjadi pihak paling akhir yang akan menerima hasil dari penjualan aset yang telah dilakukan (likuidasi).
Bagi emiten yang akan berubah ke go-private, akan secara sukarela delisting sahamnya (voluntary delisting) dari daftar bursa. Namun sebelum delisting dari bursa, emiten tersebut harus untuk melakukan pembelian saham kembali (buyback).
Sebagaimana dikutip dari Bisnis, Analis CSA Institute Reza Priyambada mengatakan bahwa para investor perlu memperhatikan di rate harga berapakah perusahaan yang akan delisting tersebut akan melakukan buyback. Jika emiten melakukan buyback di atas harga saham saat ini, maka kemungkinan besar para investor akan kompak bersama-sama menjual sahamnya.
Kemudian, emiten juga akan melihat ketersediaan dana untuk bisa menetapkan buyback di harga rendah atau tinggi. Nah, proses tersebut dinilai akan memakan waktu yang cukup lama.
Bagaimana artikel diatas sangat berguna bukan?, semoga artikel diatas bisa membantu anda dan menambah wawasan anda.